MODA transportasi publik berupa angkutan kota (angkot) di Kabupaten Nunukan semakin tersingkir. Apalagi di tengah gempuran trasportasi pribadi dan yang berbasis online. Kini, keberadaannya semakin punah.
Di masa jayanya, angkot menjadi transportasi paling banyak digunakan masyarakat. Termasuk di wilayah Kecamatan Nunukan, ibu kota Kabupaten Nunukan ini. Mulai orang dewasa hingga pelajar sangat memerlukan angkot. Tentunya untuk menuju tempat bekerja dan ke sekolah.
Terkadang, penumpang terpaksa berdesak-desakan dalam angkot agar tak terlambat ke kantor. Demikian juga pelajar. Bahkan, ada sopir angkot dengan terpaksa tidak mengambil penumpang karena kondisi angkot yang sudah terisi penuh. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1990-an.
Sekarang berbeda. Kejayaan itu kini tinggal kenangan. Saat ini sulit menemukan penumpang di angkot penuh sesak. Jikapun ada, angkot tersebut kebutulan memuat barang-barang penumpang yang ingin pulang kampung menggunakan armada laut. Terkadang juga dipenuhi TKI yang baru tiba di pelabuhan. Jumlah pengguna angkot di Nunukan sudah tak seperti dulu lagi. Salah satu penyebabnya, masyarakat kini memilih menggunakan kendaran pribadinya.
Masyarakat dengan mudah mendapatkan kendaraan roda dua (R2). Berbeda ketika dealer roda dua belum tersebar seantero Nunukan. Kala itu, untuk memiliki kendaraan pribadi, khususnya roda dua (R2) tidak semudah saat ini. Karena, proses kepemilikannya dilakukan secara kredit. Sementara di era 1990-an, tak ada kredit. Semuanya harus dikontan. Jadi, masyarakat yang memiliki roda dua sudah termasuk keluarga mampu. Karena roda dua, kecuali sepeda, sudah merupakan barang mewah.
Hampir setiap rumah warga itu ada roda dua. Tak hanya satu unit saja. Biasanya berdasarkan jumlah keluarganya. Mulai bapak hingga anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) saja sudah memilikinya. Tak jarang, dalam satu rumah itu dapat ditemukan 2 hingga 5 unit roda dua.
Basri, seorang sopir angkot yang ditemui media ini mengaku pekerjaan yang dilakukan ini hanya mengisi waktu saja. Karena dirinya memiliki usaha lain. Yakni, berjualan pakaian. Namun, karena merasa bosan, dirinya kembali membawa kendaraan yang telah dimilikinya sejak 15 tahun silam.
Basri mengaku, setiap hari untuk mengitari jalan di perkotaan, diperlukan 20 liter bensin. Dengan rute padat dan mengantar penumpang . Tapi, di zaman ini, penumpang sepi. Dalam sehari biasa ia hanya dapat dua orang. Bahkan, tidak ada sama sekali. “Tarifnya Rp 7 ribu untuk dalam kota. Kalau sudah sampai Sedadap dan Mamolo, lain lagi. Ada pembicaraan awal dengan penumpang,” akunya.
Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Nunukan H. Laoding mengungkapkan, nasib angkot di Nunukan ini memang sangat memprihatinkan. Sebab, masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan roda dua (R2) untuk bepergian. Kini, tiga pengusaha angkot telah guling tikar. Semua angkot milik mereka dijual murah untuk dijadikan modal usaha lain. Jumlah awal angkot sebanyak 300-an unit. Kini, hanya tinggal 200-an saja. Jika pun ada yang terlihat beroperasi, dipastikan jika yang mengoperasikannya itu pemiliknya sendiri. Bukan sopir sewaan lagi. Yang tidak memiliki setoran tertentu. “Kalau yang seperti dulu, sopir yang istilah bekerja dengan pemilik angkot sudah tidak ditemukan sekarang. Sopir angkot lebih memilih menjadi sopir barang yang angkutannya jelas,” jelasnya.
Hal ini terjadi karena usaha angkot sudah tidak dapat diharapkan lagi. Bahkan, sudah banyak pengusaha yang gulung tikar. Tak hanya keberadaan roda dua (R2) yang mudah dimiliki, tapi adanya kendaraan yang lebih mewah lagi, seperti minibus yang selama ini direntalkan. Rata-rata yang memiliki kendaraan itu mantan sopir angkot juga. Hanya saja mereka beralih dan mengikuti keinginan konsumen.
Di 2015 dan 2016 sempat ada perhatian dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan melalui Dinas Perhubungan (Dishub) Nunukan. Sebanyak 200 angkot diremajakan. Pengecatan dan perbaikan kerusakan dilakukan. Warnanya dibuat seragam dan setiap angkot diberikan nomor. Namun, bergantinya kepala dinas dan kepala daerah, maka kebijakan juga ikut berubah.
Sebenarnya, waktu itu harapan pemilik angkut mulai kembali bergairah. Namun, sayangnya proyek peremajaan itu tak didukung dengan keberadaan terminal. Sehingga, rute angkot tidak teratur dan tak jelas. Di mana keinginan penumpang turun di situlah diantar. Angkot di Nunukan lebih mirip rute taksi di kota-kota besar. Menyesuaikan keinginan penumpang.
Meskipun kini semakin punah, harapan untuk kembali popelur atau bahasa gaulnya eksis lagi tetap ada. Untuk itu, pemerintah diminta segera menyiapkan terminal umum. Agar angkot memiliki tempat untuk mendapatkan penumpang. Tentunya, terminal itu harus yang memilik letak strategis. Tak seperti yang dibangun dulu. Kini, terminal tersebut vakum tanpa pernah difungsikan lagi. (oya/ash)