TANJUNG SELOR - Hangout Community Kaltara bersama FAMM Indonesia menggelar 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) 2022. Bertempat di Perpustakaan Bulungan, kegiatan diisi dengan refleksi dan nonton bersama (Nobar), pada Sabtu (3/12) lalu.
Mengusung tema, stronger in solidarity, pernikanan dini antara larangan dan tradisi, menghadirkan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kaltara Wahyuni Nusband, Forum Anak Daerah (FAD) diwakili Gina, dan penggiat masyarakat adat dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Katharina Megawati.
Kegiatan dihadiri tak kurang dari 30 orang, berbagai penggiat komunitas perempuan, di Kaltara. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Utara masih cenderung mengalami peningkatan. Padahal, upaya pencegahan sudah cukup sering dilakukan.
Hal ini diyakini masih perlu sinergi bersama, tak sebatas kampanye pencegahan. Tetapi gerak bersama melakukan upaya menekan angka kekerasan tersebut. Kepala DP3AP2KB Kaltara Wahyuni Nusband mengungkapkan, pernikahan anak juga bagian dari kekerasan yang masih terjadi.
Pihaknya masih menaruh harapan mampu mewujudkan kesetaraan gender dan milenial. Dalam pembangunan melalui konvergensi upaya pencegahan pernikahan anak di Kaltara.
“Perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual,” tegasnya.
Berbagai macam bentuk kekerasan bisa terjadi. Seperti diskriminiasi, ketidakadilan, eksploitasi, kekerasan dan perlakukan salah lainnya. Sehingga perlu adanya perlindungan, baik bagi perempuan maupun anak. Khususnya pernikahan anak, karena belum cukup umur, dapat merugikan bagi anak. Kemungkinan risiko kematian ibu dan bayi, anak balita stunting bahkan hingga kemiskinan.
“Jumlah perkawinan anak di Kaltara tahun 2022 meningkat. Pada 2021 lalu ada 70 perkawinan anak. Di tahun ini ada 84 perkawinan anak,” sebutnya.
Wahyuni juga mengatakan, kondisi perempuan Kaltara saat ini, dari jumlah penduduk Kaltara. Persentase 48 persen di antaranya merupakan penduduk perempuan. Dengan 35 persen di antaranya masih usia anak. Kemudian jumlah kasus kekerasan perempuan 2022, hingga saat ada 92 kasus.
Rinciannya, 28 kasus berusia 18-24 tahun, dan 66 kasus lainnya usia 25-44 tahun. Sementara itu, pada 2022 ini ada 132 kasus kekerasan terhadap anak.
“Indeks pembangunan gender (IPG) kita berada di 87,3 persen, di bawah angka nasional 91,27 persen. Kemudian, untuk Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) masih 61,7 persen, dibanding angka nasional 76,26 persen,” ungkapnya.
Dari sekian kasus yang terjadi, ia tak menampik kekerasan di rumah tak jarang masih dominan. Dengan pelaku merupakan orang terdekat dari kerabat, bapak, kakak, paman atau keluarga terdekat lainnya.
Fenomena tersebut seolah mempertegas, bahwa rumah pun masih bukan menjadi tempat aman bagi perempuan dan anak.
“Strategi pencegahan perkawinan anak, hingga kekerasan masih kita lakukan. Sinergi kebijakan nasional hingga daerah juga dilakukan dan ini perlu peran bersama. Apalagi kita tahu di sekitar kita tak jarang masih terjadi berbagai alasan,” tuturnya.
Penggiat BPAN Katharina Megawati sebagai masyarakat Dayak Belusu, tak menampik pernikahan anak masih sering terjadi. Dilema antara larangan dan tradisi cukup sulit untuk dicegah. Apalagi, tradisi yang berujung pada sanksi adat dan lain sebagainya.
“Kami melakukan semampunya, bahkan bisa jadi data yang dipaparkan belum termasuk perkawinan anak yang ada di tempat saya tinggal. Cukup miris anak-anak sudah punya anak. Kadang anaknya tidak terurus, kan kasihan. Perempuan itu harus punya mimpi,” katanya.
Sementara Gina dari FAD megatakan, sebagai generasi yang saat ini bertumbuh. Ia pun berharap ada ruang aman dan nyaman, untuk generasi saat ini tumbuh dan berkembang. “Ruang publik yang layak anak, dengarkan suara dan aspirasi kami. Karena kami juga punya cita-cita. Kami punya hak untuk bersuara,” ucapnya.
Di tempat yang sama, Aktivis Perempuan Kaltara Jannah menambahkan, melalui momentum peringatan 16HAKTP kali ini. Bisa menjadi sarana melihat kembali kondisi perempuan dan anak, khususnya di Kaltara.
Angka menunjukan masih cukup tinggi, tak sekedar kampanye pencegahan. Sebab gerakan bersama dalam bentuk kongkret juga diperlukan.
“Perempuan harus diberi ruang untuk bersuara dan berkarya, tingkatkan kapasitasnya,” pintanya.
Dalam kesempatan ini juga disuarakan setop pernikahan anak dan kekerasan terhadap perempuan apapun bentuknya. Saat ini ada regulasi secara nasional yang bisa menjadi acuan. Yakni Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS )yang mempertegas, agar tak ada lagi pelaku kekerasan terhadap perempuan.
Sinergi bersama antarkomunitas, pemerintah dan pihak terkait, diharapkan bisa menjadi sarana pencegahan dan mampu menekan angka kekerasan dengan berbagai kegiatan kongkret. (uno2)