TARAKAN - Persoalan harga komoditas udang yang sempat dikeluhkan petambak di Tarakan, direspons Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kaltara.
Diketahui, ada tiga pihak yang masuk kategori pengusaha dalam membahas tuntas persoalan harga udang. Pertama, petani tambak yang memanen alias memproduksi udang untuk dijual. Lalu kedua, supplier. Biasanya ada di pos pembelian udang atau pihak kedua atau pihak pengumpul udang, dari petani tambak sebelum dijual pihak perusahaan cold storage.
Ketiga, yakni pabrik atau perusahaan cold storage yang kemudian komoditas ini diekspor keluar Kaltara dan keluar negeri. Ketua DPP Apindo Kaltara Peter Setiawan mengatakan, persoalan harga udang yang terkadang naik turun dan menjadi persoalan dikeluhkan setiap tahun petani tambak. Dengan adanya kenaikan BBM, memberikan pengaruh untuk cost operasional lebih tinggi dari biasanya yang dialami pengusaha.
Belum lagi bibit hingga pupuk yang tidak mendapatkan subsidi sama sekali. “Petambak punya risiko besar, jika gagal panen atau harga murah maka tidak bisa menutup cost operasional,” ujarnya, kemarin (5/10).
Jika ini terjadi di kalangan petani tambak atau dikenal petambak, maka berdampak pada supplier. Mereka juga memiliki risiko yang sama dengan memberikan pinjaman ke petambak. Sebab, jika hasil panen petambak gagal, maka modal yang sudah dipinjamkan akan mandek.
Dampaknya, pihak perusahaan atau pabrik atau hilirnya, harga udang berbeda dengan tahun 1998 lalu. Dulu saat 1998 krisis moneter, tidak hanya di Indonesia. Tetapi juga di dunia, sangat berpengaruh terhadap seluruh harga yang berlaku saat itu.
“Jadi ketika dollar naik, Tarakan happy semua. Petambak senang, supplier senang, pabrik juga senang. Sekarang kan tidak begitu lagi. Apalagi sejak perang Ukraina dengan Rusia, memberikan dampak yang sangat besar sekali. Mulai mata uang yang turun hingga permintaan ikut menurun,” tuturnya.
Saat ini, keluhan dari pabrik adalah pasar Amerika Serikat sudah setop untuk membeli udang. Karena mereka merasa inflasi tinggi dan resesi global di dunia. Mereka tidak makan bahan pokoknya udang, jadi mereka beralih ke ayam. Sementara itu, pasar ekspor terbesar untuk udang windu yakni Jepang. Akan tetapi, kondisi saat ini, mata uang Jepang mulai merosot.
“Sehingga situasi ini serba salah. Ketika pabrik beli berdasarkan PO maka dampaknya lebih besar ke petambak. Akhirnya pabrik dilema. Jika beli, gak bisa jual, stoknya banyak. Putarannya tidak bisa cepat, maka petambak juga susah. Kita harus berpikir global, jangan berpikir ego masing-masing,” ujarnya.
Pihaknya tidak menampik adanya isu permainan harga di pabrik. Isu itu sudah beredar di kalangan petambak. Namun ia menegaskan, permainan harga di lingkup pabrik tidak bisa terjadi. Sebab, ia menjadi salah satu yang terlibat dalam jual beli di tiga perusahaan cold storage di Tarakan.
Diketahui di Tarakan ada tiga perusahaan cold storage yakni PT SKA, PT Sabindo dan PT Mustika Minanusa Aurora. “Meski kami bertiga bersaudara, tapi tidak bisa bersatu. Sebab kita bersaing. Ini bisnis. Kalau ada yang bilang, wah ini kok bisa harga sama, karena memang buyer sama. Hanya saja mereka kadang belinya di Mustika, SKA atau Sabindo. Ini buyer-nya sama, bukan masing-masing cold storage punya buyer yang berbeda. Makanya harga sama,” bebernya.
Pemerintah kota, lanjut Peter, sudah melakukan pertemuan dan mengundang semua pihak baik dari Apindo, cold storage, petambak dan DPRD pada 25 September lalu. Hasil rapat saat itu, harga udang jenis windu ukuran atau size 20 dinaikkan Rp 15 ribu per kilogram (kg). Sementara untuk size di bawahnya hanya naik Rp 10 ribu per kg.
“Kenaikan ini, untuk harga tabel dan komisi tetap. Karena komisi untuk petambak ini tetap, maka komisi suppliermemang harus turun,” imbuhnya.
Permasalahan ini juga yang sedang dihadapi dalam hal ekspor udang. Pada dasarnya , tiga pihak hanya perlu duduk bersama dan berkomunikasi lebih intensif. “Saya berpesan kita duduk bersama, komunikasi yang baik. Sebab jika tidak ada komunikasi, maka muncul persepsi yang salah,” pungkasnya. (sas/uno)