NUNUKAN -Ruang unit Hemodialisa (HD) di RSUD Nunukan, yang seyogianya bisa menangani pasien cuci darah, tengah disoroti masyarakat.
Pasalnya, Sekretaris Dinas Komunikasi dan Informatika Nunukan Junaidi, harus dirujuk ke RSUD dr H Jusuf SK Tarakan untuk penanganan cuci darah, pada Sabtu lalu (14/5).
“Pasien didiagnosa membutuhkan tindakan Hemodialisa, karena kadar ureum cukup tinggi dan mempengaruhi otak. Sayangnya dokter penanggungjawab HD tidak mau melayani. Saya tak tahu apa alasannya, tapi itu menjadi hal yang sangat kami sesalkan,” ungkap Direktur RSUD Nunukan Dulman, Minggu (15/5).
Dokter Rahma penanggungjawab HD telah dimutasi ke RS Pratama Sebatik, sebagai dokter spesialis penyakit dalam. Hanya saja, RSUD Nunukan sudah meminta dispensasi dan permohonan kepada Dinas Kesehatan (Dinkes). Untuk menjadwalkan penanganan HD pada Kamis, Jumat dan Sabtu.
“Kami sudah meminta agar yang bersangkutan diperbantukan di RSUD Nunukan, meski sudah dimutasi ke Sebatik,” pinta Dulman.
Dulman bereaksi cukup keras atas penolakan yang dilakukan dr Rahma. Padahal, kata dia, sebagai dokter, melayani pasien dan mengedepankan kemanusiaan merupakan sumpah dokter.
Dokter, seyogianya sama sekali tidak boleh menolak saat ada pasien yang membutuhkan bantuan. Sekalipun keberadaan pasien di wilayah pelosok terpencil dan terisolir. “Itu harus dilakukan karena kewajiban dokter. Sementara dalam kasus ini, pasien ada di depan mata, kok ditolak? Dimana rasa kemanusiaan dan sumpah dokter?,” kesalnya.
Dulman sudah meminta Dinkes agar bersikap tegas atas kasus ini. Seorang dokter seharusnya mengutamakan kemanusiaan, dibanding ego karena kecewa terhadap kebijakan mutasi.
Dikonfirmasi terpisah, dr Rahma mempertanyakan statusnya di RSUD Nunukan. Pasca dimutasi ke RS Pratama Sebatik, ia juga mencabut Surat Izin Praktek (SIP) di RSUD Nunukan. Sehingga tidak mungkin bisa menangani pasien di RSUD Nunukan.
“Sejak mutasi 14 Maret 2022, status saya bukan lagi dokter di RSUD Nunukan. Saya sepenuhnya dokter spesialis penyakit dalam di RS Pratama. SIP juga sudah saya cabut, pindah ke RS Pratama Sebatik,” ungkapnya.
Rahma justru heran, diminta bertanggung jawab. Sementara saat mutasi, Dirut RSUD Nunukan secara tegas menyatakan akan bertanggung jawab penuh atas penanganan pasien HD.
Menurut dia, bagaimana mungkin dokter yang tidak memiliki izin praktek diminta menangani pasien. “Siapa yang bertanggung jawab ketika terjadi hal yang tidak diinginkan nanti? Lagian kalau ada apa apa, bukannya saya juga yang disalahkan?,” imbuhnya.
Rahma menjelaskan, penyelenggaraan pelayanan dialisis pada fasilitas pelayanan kesehatan, mensyaratkan hemodialysis harus seorang Konsultan Ginjal Hipertensi (KGH). Yang memiliki surat izin praktek atau dokter spesialis penyakit dalam, yang terlatih bersertifikat pelatihan hemodialis. Dikeluarkan oleh organisasi profesi sebagai penanggungjawab, sesuai atur Permenkes RI Nomor 812/MENKES/PER/VII/2010.
Setiap tahunnya ada MoU antara RSUD Nunukan dan Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia). “Tapi sejak 2022, MoU itu belum ada. Ini cukup krusial dan berbahaya bagi RSUD. Izin praktek HD dibawah Pernefri, ketika itu tidak ada, bagaimana bisa berjalan?,” imbuhnya.
Berbanding terbalik dengan RSUD Nunukan tempatnya bertugas sebagai penanggungjawab unit HD sebelumnya. Di RS Pratama, statusnya masih sama dengan Puskesmas biasa. Karena belum adanya izin Analisis Dampak Lingkungsn (Amdal).
Pasien di Pulau Sebatik, mayoritas ditangani Puskesmas. Karena RS Pratama bukan rumah sakit rujukan. Hanya satu dua pasien penyakit dalam yang ditanganinya, selama bertugas. Bahkan tidak ada pemeriksaan laboratorium.
Lebih lanjut, Rahma merasa aneh dengan adanya surat perintah tugas yang keluar setelah mutasi dilakukan. “Antara SK mutasi dan SPT (Surat Perintah Tugas) lebih tinggi mana? Mana yang harus saya ikuti? Jadi status saya ini tak jelas sebenarnya. Disisi lain saya di bawah Pernefri dan diatur Permenkes. Di sisi lain, saya ASN yang harus patuh pada kebijakan Bupati,” bebernya.
Persoalan lainnya yang perlu diperhatikan, adanya surat Pernefri Korwil Jawa Timur. Yang selama ini mengeluarkan rekomendasi izin praktek HD, untuk RSUD Nunukan tidak lagi memberikan izin. Melalui surat Nomor 25/PERNEFRI/Korwil – SS/IV/2022, dijelaskan perihal perpindahan pembinaan RSUD Nunukan ke Pernefri Korwil Makassar, Sulawesi Selatan.
Setiap tahunnya ada perbaruan MoU. Dimana harus ada supervisor konsultan ginjal yang ditunjuk. “Kalau tak ada itu, maka tidak bisa berjalan unit HD. Sementara, RSUD Nunukan belum ada kerja sama dengan Pernefri Makassar,” tegasnya.
Dengan legalitas yang tidak jelas seperti itu, klaim BPJS bahkan tidak akan bisa dicairkan. Akibat nihilnya penanggungjawab HD. “Masalah ini sudah sampai Pernefri pusat. Saya khawatir mereka beri sanksi ke Nunukan. Kalau ada sanksi, unit HD tak akan beroperasi,” tuturnya.
Rahma mengaku, sudah mengabdi sebagai dokter selama 20 tahun. Bahkan sebagai anak daerah, selalu mengabdi dan pernah melayani di semua wilayah pelosok terisolir di Nunukan. Melalui program dokter terbang, dokter terapung, dan program lain untuk perbatasan RI-Malaysia.
Bahkan, Rahma juga yang mengusahakan adanya unit HD di RSUD Nunukan. Sejak 7 tahun terbangun unit HD, tidak ada masalah yang terjadi. “Saya terus berusaha memajukan pelayanan RSUD Nunukan. Banyak yang perlu diperhatikan terkait HD,” ujarnya.
Rahma pun banyak menerima tawaran dari sejumlah rumah sakit di luar Kaltara. Tapi, dirinya masih ingin memajukan daerah sendiri. HD itu sistem pelayanan khusus, dengan tenaga khusus yang bersertifikasi. Dengan dimutasinya Rahma tanpa ada dokter pengganti, sempat memicu perdebatan di kalangan umum dan dokter.
Rahma merupakan satu-satunya dokter spesialis Hemodialisa yang bertanggung jawab dengan operasional unit HD.
Terkait mekanisme pelayanan pasien HD, yang dikhawatirkan bisa mengalami gangguan sewaktu-waktu. Seperti sesak nafas dan kondisi emergency lain. Ahli Penyakit Dalam Konsultan Ginjal Hipertensi Kaltara dr Gusti Hariyadi menambahkan, unit HD tanpa keberadaan dokter spesialis penyakit dalam yang bersertifikat, ibarat pesawat tanpa pilot.
“Tak layak beroperasi. Sebaiknya ditutup dulu menunggu adanya dokter spesialis penyakit dalam yang bersertifikat HD. Ini berisiko karena menyangkut nyawa manusia,” tuturnya.
Gusti menegaskan, keberadaan dokter bersertifikasi HD sudah menjadi ketentuan yang diatur dalam perundangan. Jika sebuah unit HD tidak memenuhi syarat yang ditentukan, tentu fatal dan sangat berisiko. Alhasil, pelayanan bagi pasien HD tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Menurut dia, seorang dokter boleh memiliki tempat praktek lebih dari satu. Hanya saja, penanggungjawab HD harus ada di tempat. Artinya, ada di area yang mudah dijangkau. (*/dzl/uno)