NUNUKAN – Puluhan juragan kapal angkutan penumpang dan barang untuk wilayah pedalaman di Kabupaten Nunukan, menyambangi gedung DPRD Nunukan, Selasa (19/4).
Kedatangan mereka mengeluhkan pelayaran ilegal, yang sudah berlangsung dalam dua tahun. Ketua Asosiasi Kapal Pedalaman Nunukan Bahar mengatakan, kondisi berlarut ini sangat merugikan masyarakat. Sehingga para tukang kapal berinisiatif untuk meminta para wakil rakyat mencarikan solusi.
“Masyarakat menjadi korban penangkapan aparat keamanan di laut. Sejauh ini sudah ada lima kapal yang berhenti mengangkut bahan pangan, untuk daerah pedalaman karena takut,” ucap Bahar.
Sejak keselamatan sungai ditarik kewenangannya oleh Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) pada 2021. Pengurusan dokumen kelengkapan kapal dan izin berlayar di Nunukan mulai bermasalah.
Ketika kapal beroperasi, akan ada upaya penangkapan dengan tuduhan pelayaran ilegal. Sementara jika tidak beroperasi, mereka disudutkan dengan tuntutan ekonomi untuk keluarga. Selain masalah tersebut, pelayaran yang dilakukan tanpa dokumen, tentu akan menggadaikan keselamatan.
“Mohon segera dibijaki persoalan dokumen kapal, yang kewenangannya ditarik BPTD ini. Bagaimana kami ini dibiarkan berlayar tanpa ada izin dan dokumen? Kalau sarana prasarana belum siap, lebih baik BPTD kembalikan regulasi seperti sebelumnya. Jangan sampai kami mengalami musibah baru ada respon terkait ini,” keluhnya.
Para nakhoda dan juragan kapal yang kebanyakan menggantungkan hidup terhadap transportasi air ini, merasa disingkirkan. Dengan sudah berusaha survife melalui barang kebutuhan pokok yang didatangkan dari Malaysia. Seakan masih dipersulit dengan urusan perizinan kapal.
“Kami minta ada keputusan, ini kapal boleh jalan apa tidak? Kalau tak bisa dipakai Permen itu, pakai Pancasila saja. Tolong segera dibenahi permasalahan ini. Kalau tidak ada izin, tidak makan masyarakat di wilayah pedalaman,” protesnya.
Kepala Seksi Perhubungan Laut Dinas Perhubungan Nunukan Lisman menambahkan, peralihan kewenangan merupakan kebijakan Direktur Jenderal Laut Nomor 202/2021 tentang Penyerahan tugas Hubla ke Hubdat. Untuk kapal angkutan sungai danau dan penyeberangan, yang telah ditandatangani pada 31 Mei tahun lalu.
Sejumlah kewenangan yang beralih, antara lain, penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB), surat persetujuan olah gerak, Laporan Kedatangan dan Keberangkatan Kapal (LK3), dan Pemungutan Penerimaan Bukan Pajak (PNBP) khusus kegiatan sungai, danau dan penyeberangan.
“Permasalahannya, BPTD seakan belum memiliki kesiapan dalam hal ini. SDM mereka sangat minim, sehingga banyak dokumen kapal yang sudah mati belum diperbaharui. Seluruh kapal yang berlayar saat ini tanpa SPB,” ungkapnya.
Dishub Nunukan mencatat ada sekitar 361 speedboat, yang semuanya berlayar secara ilegal. Sampai saat ini, Dishub Nunukan belum pernah menyerahkan kewenangan ke BPTD secara administratif.
Sebenarnya pemda diberikan mandat mengeluarkan SPB. Dirjen Hubla melalui telegram Nomor 16 Tahun 2018, menyerahkan SPB lewat pemda. Namun muncul BPTD yang mengambil alih. “Sebenarnya, regulasi saling bertentangan yang akhirnya bermasalah di seluruh Indonesia dan berimbas pada kapal untuk pedalaman Nunukan,” cetusnya.
Kurang siapnya BPTD dalam pengambilalihan kewenangan, kata Lisman, dihadapkan pada sejumlah dilema. Diantaranya, masalah keselamatan berlayar. Lalu terkait konsekuensi pidana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran.
Penerbitan SPB wajib diperketat guna menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran. Selain itu, stakeholder harus melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kelaiklautan kapal. Yang berlayar dari dan ke pelabuhan atau daerah pedalaman di wilayah kerja atau DLKr dan DLKP.
Hal tersebut dituangkan dalam Telegram Dirjen Perhubungan Laut Nomor 15/II/DN-18 pada 2 Februari 2018 tentang Peningkatan Pengawasan terhadap Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar dan Telegram Nomor 16/II/DN-18 tanggal 2 Februari 2018 perihal Pengawasan Terhadap Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) Kapal-Kapal Pedalaman.
“Konsekuensinya jelas, kita dihadapkan pada tanggung jawab tidak ringan. Jangan sampai terjadi kecelakaan seperti kasus KM Sinar Bangun di Danau Toba. Tak ada syahbandar maupun inspektur sungai dan danau sebagai fungsi pengawas keselamatan, pada saat kapal hendak berlayar,” kata Lisman.
Atas kondisi ini, Pemkab Nunukan melalui Dinas Perhubungan sudah bersurat ke BPTD XVII Kaltim Kaltara. Bahwa banyak dokumen kapal yang mati dan belum siapnya SDM BPTD, mengakomodir peralihan kewenangan tersebut di Kabupaten Nunukan.
Dishub Nunukan juga mempertanyakan adanya benturan aturan BPTD dengan Pergub Kaltara Nomor 44 Tahun 2018. Yang juga mengatur tentang penyelenggaraan angkutan sungai dan danau.
“Sudah dua kali Bupati Nunukan melayangkan surat. Pertama 23 September 2021 dan kedua pada 10 Februari 2022. Tak satupun mendapat jawaban dari BPTD,” imbuhnya.
Perwakilan BPTD Kaltim Kaltara Oktafiano tidak membantah. Saat ini pihaknya sangat minim SDM untuk mengcover tugas di wilayah. Hanya saja, sosialisasi peralihan kewenangan terus dilakukan. Agar masyarakat paham tugas dan fungsi BPTD.
“Kita terus memproduksi SDM. Kita sekolahkan ahli ukur kapal, diklatkan marine untuk menunjang tugas dan fungsi kami. Mungkin dua bulan lagi selesai pendidikan dan segera membantu pelayanan di daerah,” tutur dia.
Terkait surat Bupati Nunukan yang belum mendapat jawaban. Menurut Oktafiano, BPTD sudah koordinasi dengan Dishub Nunukan tentang kapal pedalaman.
“Sedang kita rumuskan pola kerja sama dengan Dinas Perhubungan. Bagaimana bentuk kerja samanya, kami menunggu petunjuk pusat. Pada prinsipnya pemerintah tidak akan melakukan pembiaran,” ungkapnya.
Di lain pihak, Anggota DPRD Nunukan Andre Pratama meminta agar BPTD memahami kondisi geografis dan demografis Nunukan yang berbeda dengan daerah lain.
Di kabupaten yang merupakan wilayah perbatasan RI–Malaysia ini, ada tradisi perdagangan tradisional yang terjadi puluhan tahun lamanya. Selama itu pula, masyarakat perbatasan memenuhi kebutuhan hidup dari negeri Jiran. Masyarakat pedalaman yang mayoritas tinggal di areal sungai dan pesisir, bergantung dengan transportasi kapal.
“Urusan makan minum masyarakat tergantung transportasi sungai. Lalu ada saran BPTD agar masyarakat mengurus dokumen kapal dengan mengirim email. Mereka banyak pakai HP bukan android, belum tentu paham internet,” ujar Andre.
Andre juga menyoroti kebutuhan kantor BPTD yang bisa meminjam gedung Pelabuhan speedboat Liem Hie Djung yang memiliki ruangan luas. Ada yang perlu diluruskan dari SDM BPTD yang masih diklat atau disekolahkan.
Disisi berlawanan, akibat peralihan kewenangan dan implementasi premature di Nunukan. Pemerintah daerah tidak memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi kapal. “Masyarakat pedalaman diminta menunggu dua bulan sampai SDM BPTD selesai sekolah? Mereka butuh makan tiap hari. Haruskah mereka nunggu SDM BPTD selesai sekolah baru bisa operasikan kapal agar bisa makan,” kesalnya.
Pimpinan rapat Andi Krislina berharap ada pertemuan dengan pemilik kebijakan tertinggi BPTD. Agar ada kepastian dan permasalahan tidak berlarut.
“Kita butuh kecepatan dalam pelayanan masyarakat. Ini urgent dan kami minta pertengahan Mei mendatang, minimal sudah 50 persen kapal terlayani dokumennya,” singkatnya. (*/lik/*/viq/uno)