TARAKAN - Untuk penanganan perkara pencabulan 5 anak di bawah umur, yang dilakukan oknum guru ngaji. Satuan Reskrim Polres Tarakan bersurat ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Penanganan korban ini diharapkan bisa dibantu LPSK pusat, agar bisa melakukan pendampingan. Kapolres Tarakan AKBP Taufik Nurmandia melalui Kasat Reskrim Iptu Muhammad Aldi mengakui sudah bersurat ke LPSK pusat. Meminta agar bisa melakukan pendampingan. Selain kasus AR ini, Satreskrim juga meminta pendampingan dari LPSK untuk kasus tersangka cabul EG.
Ada 12 anak yang sudah menjadi korban pencabulan EG dengan cara menyodomi korbannya. “Kami harap juga nanti ada penelitian secara langsung terhadap korban,” terangnya, Rabu (19/1).
Seperti diberitakan sebelumnya, tersangka pencabulan AR (27) merupakan oknum guru ngaji korban. Tersangka masih merupakan salah seorang tenaga pengajar di SMP swasta di Tarakan. AR menjadi guru mengaji untuk 80 murid lelaki dan perempuan di sekitar kosannya, sejak 3 tahun lalu.
Tersangka yang merupakan Sarjana Pendidikan Biologi ini mengaku tidak memaksa korbannya saat melakukan pencabulan. Namun korban yang merasa ketakutan langsung menuruti keinginan pelaku. Dari penyidikan sementara, pengakuan korban ada sekali, dua kali hingga 8 kali sudah dicabuli AR.
“Kami juga ada melibatkan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Tapi, dalam penanganannya korban sudah didampingi psikolog melalui Himpsi (Himpunan Psikolog Indonesia) Tarakan,” ungkapnya.
Selain itu, Aldi mengungkapkan pencabulan yang dilakukan AR kepada korbannya dengan cara onani. Mesti menduga ada korban AR lainnya, namun pihaknya masih mendalami keterangan dan informasi maupun bukti dari korban yang sudah melapor. Sehingga bisa fokus dalam penanganan perkaranya.
“Sampai saat ini informasi yang kami dapatkan dari korban, AR melakukan onani terhadap korban,” tuturnya.
Tersangka AR pun disangkakan pasal 82 ayat 1 Junto pasal 76E Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. “Ancaman pidana paling singkat 5 tahun, paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar," sebutnya. (sas/uno)