NUNUKAN –Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Republik Indonesia untuk Malaysia, Hermono berkunjung ke Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara, Sabtu lalu (18/12).

Selain untuk melihat langsung dan mempelajari realitas masalah yang terjadi di  tapal batas negara. Kunjungan inipun menjadi ajang silaturahmi terhadap para aparat penjaga batas negara.

“Kedatangan saya didasari oleh perintah pusat. Kami telah rapat dengan Pak Luhut dan Pangdam. Negara meminta kita agar benar-benar serius dalam menindaklanjuti keluar masuk PMI (Pekerja Migran Indonesia) di perbatasan negara,” terangnya.

Hermono menegaskan, persoalan PMI unprosedural yang menjadi salah satu masalah di perbatasan RI–Malaysia cukup mengkhawatirkan. Di masa pandemi, para PMI unprosedural dianggap ancaman bagi Malaysia. Karena dikhawatirkan membawa virus Covid-19 masuk.

Demikian pula bagi Indonesia, masuknya WNI melalui perbatasan negara terutama jalur-jalur tikus, berpotensi sama dalam hal kesehatan. “Tentu kita tidak inginkan mereka masuk negaranya dengan membawa narkotika atau barang larangan dan terbatas. Kita butuh penguatan dan pengetatan jalur masuk, yang memang tidak mudah. Banyak sekali jalur tikus sepanjang perbatasan RI-Malaysia,” tutur Hermono.

Kunjungan kali ini untuk mengetahui pasti persoalan yang harus dibahas dan disampaikan ke pusat. Sebelum dijadikan referensi atas solusi bagi persoalan yang terjadi. “Saya berharap bisa mendengar langsung dari warga perbatasan, apa saja persoalan di tapal batas. Itu akan menjadi bahan saya dan pekerjaan rumah yang harus segera diatasi nantinya,” tegasnya.

Merespon keinginan Dubes RI untuk Malaysia ini, tokoh masyarakat Pulau Sebatik Herman Bacco menyampaikan, masyarakat berharap penyelesaian atas kasus lahan yang masuk Malaysia. Akibat pengukuran ulang oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama Jabatan Ukur dan Pemetaan (JUPEM) Malaysia pada Juni 2019 lalu.

“Secepatnya ada penyelesaian terkait sejumlah lahan masyarakat yang masuk Malaysia, akibat pengukuran ulang patok batas negara. Segera ada kejelasan ganti untung dari pemerintah RI,” harapnya.

Herman mengatakan, saat ini status lahan yang belum ada kejelasan tersebut, berpotensi konflik sosial. Ada kejadian warga Malaysia membangun jalan di lahan tersebut, namun dihalangi oleh warga Indonesia. Pun sebaliknya, ada masyarakat Sebatik yang menggarap kebun kelapa sawit di lahan Malaysia, yang belum memiliki legalitas hukum.

“Jadi kami berharap sekali, ada kejelasan dari Pemerintah Pusat terkait ini. Jangan sampai masalahnya berlarut dan timbul konflik sosial antar dua negara,” tegasnya.

Selain masalah batas negara yang bergeser dan mengakibatkan sejumlah lahan serta bangunan masyarakat Sebatik masuk Malaysia. Herman juga menyampaikan kesulitan masyarakat Pulau Sebatik jika ingin bepergian ke Malaysia. Mereka harus menuju Nunukan dan berangkat melalui pelabuhan speedboat Liem Hie Djung, yang tentunya butuh biaya dan waktu yang tidak sedikit.

Padahal, jarak antara Sebatik–Malaysia bisa ditempuh dalam waktu sekitar 15 menit. Sebelumnya, pelayaran ke Malaysia dari Pulau Sebatik dilakukan secara tradisional dan hal tersebut pernah dimaklumi oleh pihak Malaysia.

Hanya saja, lanjut Herman, terjadi konflik antara Malaysia dengan Kesultanan Sulu yang membuat kebijakan jalur-jalur penyeberangan tradisional termasuk Sebatik ditutup.

“Kita sudah hampir lima tahun kalau mau ke Malaysia harus berputar ke Nunukan dulu. Padahal di Sebatik ada pos imigrasi. Kita berharap status imigrasi ditingkatkan, sehingga bisa memiliki kewenangan dalam hal perjalanan langsung Sebatik – Malaysia,” pintanya.

Lebih jauh, Herman juga meminta fungsi LTSP Nunukan kembali seperti dulu. Tim terpadu tersebut menjadi ujung tombak bagi pembuatan paspor PMI. “Jadi PMI kita yang banyak di Malaysia belum punya paspor dipulangkan dulu ke Indonesia. Dibuatkan dokumen di LTSP baru dikirim kembali. Kalau masalah keberangkatan mereka yang unprosedural, kami percaya akan tertata ketika PLBN sudah beroperasi,” ungkapnya. (*/lik/*/viq/uno)